Artikel
Perundungan di Sekolah Inklusi, Keterbelakangan SLB, Orangtua Harus Apa Pada Anak Disabilitas Sensorik?
Adakah Sekolah Umum yang Menerima Penyandang Disabilitas?
Menjadi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus pasti sering bertanya-tanya pentingkah SLB bagi perkembangan buah hati. Apakah lebih baik sekolah di sekolah inklusi saja? Mengingat saat ini Sekolah Luar Biasa (SLB) memiliki kurikulum yang berbeda dengan sekolah inklusi atau umum. Lantas apakah SLB tidak seharusnya didirikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Sesuai Permendiknas No. 70 tahun 2009 mengenai pelaksanaan sekolah inklusi bagi ABK. Didasarkan pada Permendiknas tersebut setiap ABK berhak mengikuti pembelajaran di sekolah inklusi. Dikutip dari kemenkopmk.go.id “sebagai peserta didik, Menko PMK menjelaskan, penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama baik sebagai penyelenggara pendidikan, Pendidik, Tenaga Kependidikan, maupun Peserta Didik. Menurut dia, hal itu telah diatur dalam UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan PP nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas.”
Hal ini juga sejalan dengan ungkapan Muhajir, bahwa pemerintah sudah mencanangkan sekolah negeri maupun swasta wajib menjalankan pendidikan atau layanan khusus bagi ABK untuk kebutuhan inklusif. Dengan begitu orangtua dapat memberikan pendidikan terbaik kepada anak di sekolah inklusi.
Lantas Mengapa Harus Sekolah Inklusi?
Ada beberapa hal yang membuat orangtua dapat mempertimbangkan apabila buah hati memiliki disabilitas sensorik hendak memilih sekolah inklusi:
Perbedaan Kurikulum:
Hal yang paling menonjol antara sekolah SLB dan inklusi adalah bagaimana penerapan kurikulum untuk masing-masing mata pelajaran. seperti yang diketahui, kurikulum sekolah terus mengalami perubahan dari adanya KTSP, K13 hingga saat ini kurikulum merdeka belajar. Tiap sekolah tentu memiliki perbedaan masing-masing dalam penerapan kurikulum tersebut.
Berbeda dengan sekolah inklusi, SLB memiliki kurikulum tersendiri sehingga menimbulkan perbedaan yang sangat signifikan berdasarkan pemahaman pelajaran diampu. misalkan saja sekolah inklusi telah menerapkan K13 sedangkan SLB masih menggunakan KTSP. Namun, perlu diketahui bahwa penerapan pendidikan berbasis teori sangat diminimalisir pada SLB.
Perbedaan kurikulum tersebut menjadi sangat berpengaruh bagi anak saat mengikuti jenjang lebih lanjut seperti sekolah kedinasan atau sekolah tinggi yang tidak menyediakan kurikulum khusus sehingga ABK diharuskan menyesuaikan diri dengan pembelajaran yang sudah terstruktur.Mengingat adanya perbedaan kurikulum tersebut, ABK harus belajar dua kali lebih keras dari pada teman sebayanya.
Fasilitas yang Menunjang Kebutuhan Sensorik:
Pemerataan fasilitas di sekolah masih dalam tahap diusahakan oleh pemerintah. Masih banyak sekolah terutama di daerah terbelakang yang tidak memiliki fasilitas untuk mendukung pembelajaran seperti perpustakaan, ruang komputer atau peralatan olahraga. Tidak hanya ditemui disekolah negeri saja, tetapi kasus seperti ini juga sering ditemui di sekolah swasta karena kekurangan dana baik dari pemerintah maupun donatur.
Berbeda dengan SLB, sekolah ini sebagian besar memiliki fasilitas yang lebih kompleks.Seperti pengadaan alat musik, peralatan olahraga yang sudah akses untuk disabilitas hingga peralatan pembelajaran yang mendukung disabilitas sensorik. Fasilitas yang lengkap ini diimbangi dengan pembelajaran praktis bagi ABK dengan menggiatkan praktik keterampilan tinggi dan pengolahan kelas minat bakat. Dengan begitu, ABK dapat lebih mempermudah memahami pelajaran dan mengasah bakat yang dimiliki.
Ketiadaan fasilitas yang tidak maksimal tentu menjadi penghalang bagi ABK mengembangkan kemampuan yang dimiliki. Tetapi, sekolah inklusi memiliki guru pendamping yang akan mengarahkan dan membantu apabila ABK kesulitan dalam memahami pelajaran. Belum lagi keberadaan teman-teman non-disabilitas yang pastinya dapat membantu ABK untuk mengarahkan dan memberi pemahaman terhadap sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh sensoriknya.
Sistem Pembelajaran di Sekolah:
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, sekolah inklusi diharuskan memiliki guru pendamping atau guru yang paham terhadap kebutuhan ABK. Salah satu kendala sekolah tidak dapat menerima ABK adalah ketiadaan guru pendamping dan kesiapan tenaga pendidik terhadap kebutuhan anak di sekolah nantinya. Belum lagi stigma terhadap ABK yang tidak bisa mengikuti pembelajaran sehingga takut menjatuhkan nama baik sekolah. Ketakutan-ketakutan inilah yang masih sering ditemui di sekolah umum.
SLB sendiri memiliki beberapa jenis, dari mulai penggabungan terhadap seluruh tipe disabilitas hingga sekolah khusus berdasarkan salah satu tipe disabilitas saja. Pada SLB yang menggabungkan seluruh tipe disabilitas akan mempersulit tumbuh kembang anak ABK sensorik yang disamakan dengan disabilitas mental baik itu ADHD, slow learning, disleksia dan lain sebagainya. Namun, SLB yang menerima satu tipe disabilitas sendiri belum tentu memiliki pembelajaran yang dapat memenuhi kebutuhan anak saat lulus nantinya.
Berbagai kendala dan ketakutan dalam sekolah inklusi menyebabkan ABK yang mampu mengikuti pembelajaran umum menjadi tidak terfasilitasi. Mengikuti pembelajaran di SLB bukan tidak ingin, tetapi tidak banyak membantu ABK mendapatkan wawasan yang lebih luas seperti sekolah inklusi.
Teman Sebaya Penting bagi Pertumbuhan:
Bersosialisasi sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Anak dapat lebih mudah berkomunikasi, belajar etitut dan mengolah emosi. Pada sekolah inklusi, ABK dituntut menjadi minoritas yang dapat beradaptasi dengan orang-orang non-disabilitas. Sering kali ditemui kasus perundungan baik dari teman sebaya maupun guru yang tidak memahami kondisi ABK. Resiko terjadi Kekerasan Seksual (KS) hingga diskriminasi dalam proses belajar tentu mengajarkan ABK untuk lebih memahami kondisi dirinya dengan lingkungan.
Berbanding dengan sekolah SLB yang mayoritas disabilitas hingga guru dan staf administrasi, tentu mempermudah ABK melakukan sosialisasi. Minimnya perundungan dan kesadaran masyarakat sekitar juga dapat membantu ABK dalam berinteraksi serta mengenal kondisi disabilitasnya saat ini. SLB sendiri akan lebih mengajarkan praktik sosial homogen diimbangi rasa disability awareness yang cukup tinggi.
Pada nyatanya ABK lulusan SLB mayoritas mengalami kesulitan berinteraksi dengan non-disabilitas. Hal ini dikarenakan terbiasa menemui lingkungan yang telah awerness dengan disabilitas yang dimiliki. Namun, tidak dapat dipungkiri adanya stigma yang menganggap bahwa disabilitas lebih rendah dalam kemampuan, tentu membuat pilar transparan secara tidak langsung muncul diantaramasyarakat . Tidak hanya itu, kebiasaan-kebiasaan yang kontras antara pelaksanaan pembelajaran sekolah inklusi dan SLB tentu mendorong kebiasaan ABK dimasa depannya. Untuk itu, penting dari orangtua meningkatkan pembelajaran terhadap ilmu parenting kepada ABK mengenai kebutuhan serta solusi konkrit pembentukan karakter anak.
Masa Depan Anak Dimulai Dari Sekolah:
Sekolah merupakan bekal bagi anak untuk masa depannya. Bagaimana jenis sekolah, peraturan yang diterapkan, metode belajar, serta culture dalam lingkungan sekolah menjadi peran penting dalam menghadapi masyarakat luas. Tidak hanya berbanding pada sekolah inklusi atau SLB, tetapi sekolah internasional, asrama, atau unggulan pastinya menjadi pembelajaran anak terhadap pengetahuan diluar teori-teori kurikulum. Walaupun tidak dapat dipungkiri dari 7,99 juta angka pengangguran, 9,6% merupakan lulusan SMK.
Sekolah unggul juga tidak menjamin masa depan anak akan mudah memperoleh pekerjaan. Saat ini soft skill menjadi poin recruitment memilih tenaga kerja bagi perusahaannya. Penerapan pembelajaran praktik minim teori di SLB dapat membantu ABK dalam menguasai skill tertentu. Belum lagi didukung dengan fasilitas yang lebih kompleks membuat ABK dapat menguasai bakat sejak dini. Pada disabilitas netra sering ditemui pembelajaran pijat atau bermusik sedangkan disabilitas tuli pembelajaran menari atau drama.
Jika dilihat bahwa SLB lebih banyak mengajarkan berdasarkan praktik seni, maka sekolah inklusi akan lebih menekankan pada pembelajaran berbasis teori yang lebih meluas. Maka dari itu, lulusan SMA sederajat memilih melanjutkan ke sekolah tinggi untuk fokus terhadap teori luas yang telah dimiliki. walaupun juga melihat prospek kerja yang lebih jelas jika berpegang pada ijazah kuliah nantinya.
Kesimpulan:
Bagi orangtua sangat penting menentukan sekolah terbaik yang akan diberikan terutama pada disabilitas sensorik. Sekolah inklusi atau SLB keduanya memiliki keunggulan masing-masing sehingga penempatan sekolah apapun itu tergantung bagaimana orangtua dapat mendidik karakter anak sejak dini di rumah. Qalaupun tidak dapat dipungkiri beberapa sekolah juga dapat menghambat tumbuh kembang ABK, diharapkan dengan pelatihan terhadap perkembangan karakter yang kuat dari orangtua dan lingkungan dapat membantu ABK dalam menjalani hidupnya secara mandiri.
Sumber:
Penulis : Ivas Salsabilla
Editor : Rizky Ramadhani