google.com, pub-5131649008171023, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Connect with us

Suara Difabel Mandiri (SDM)

Izinkan Difabel Jatuh Cinta, Cinta Universal Tanpa Batasan

Ilustrasi Pengguna Kursi Roda Sedang Berhadapan

Artikel

Izinkan Difabel Jatuh Cinta, Cinta Universal Tanpa Batasan

Cinta adalah sesuatu yang universal dan alami yang dimiliki oleh setiap manusia.  Oleh karena sifatnya yang sukarela, cinta dapat berkembang  secara spontan tanpa peduli pada faktor seperti suku, ras, agama, atau bahkan kondisi fisik sekalipun. Namun, pada kenyataannya, difabel sering kali merasa inferior dalam urusan asmara. Mereka merasa tidak pantas untuk dicintai atau mencintai karena stigma yang masih melekat dalam masyarakat. Padahal, hak cinta adalah hak umum yang dimiliki oleh semua orang termasuk difabel, sebab menurut psikoanalisis terkemuka asal Jerman Erich Fromm  cinta merupakan kekuatan aktif dalam diri manusia yang dapat meleburkan tembok antara manusia dan sesamanya.

Sayangnya, banyak orang memaknai cinta dengan standar mereka sendiri,  hal ini menyebabkan berbagai alasan subjektif menjadi penghambat  dalam mencari pasangan. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang makna dan esensi cinta itu sendiri. Akibatnya, banyak difabel merasa kesulitan dalam mencari pasangan karena masih sedikit orang yang akan bersedia berbagi hati dengan mereka. Selain itu, banyak kisah cinta antara difabel dan non-difabel yang menimbulkan kontroversi di antara orang-orang terdekat, hanya karena kondisi fisik semata. Padahal, cinta sebenarnya tidak mengenal kata cacat. Realita ini lantas  menjadi  ironi, sebab kondisi sering kali menjadi tembok tersendiri bagi difabel untuk menemukan cinta sejati.

Paradigma Terhadap Difabel

Pada umumnya, alasan sulitnya difabel dalam mencari jodoh selain dari kondisi fisik adalah terdapat persepsi bahwa difabel adalah makhluk yang kurang mandiri, sehingga sulit dicintai. Kemudian pandangan tersebut berkembang menjadi skeptisme, terutama pada aspek tanggung jawab finansial. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena bisa jadi situasi ini terjadi karena keterbatasan akses, bukan karena kemampuan mereka yang terbatas. Stigma ini dapat dilepaskan apabila kita memberikan kesempatan kepada difabel untuk membuktikan kemampuan mereka. Selain itu, masalah keturunan juga sering menjadi faktor yang menjadi perhatian, meskipun tidak semua kecacatan berakar dari faktor genetik. Selain itu, anggapan bahwa difabel hanya cocok untuk berpasangan dengan difabel lainnya dianggap tidak adil. Oleh karena itu perlu hati yang terbuka untuk memahami kesetaraan dalam cinta bagi mereka yang belum terbiasa.

Solusi Alternatif  Terkait Hal Tersebut

Salah satu solusi dalam menghadapi fenomena ini adalah keterlibatan keluarga dan lingkungan sekitar. Difabel harus diberikan ruang dan kesempatan untuk menemukan kepercayaan diri dalam kehidupan sosial. Hal ini dapat dicapai dengan membangun pemahaman bahwa setiap manusia setara, termasuk dalam hal cinta. Difabel juga perlu meyakini bahwa hanya orang yang terpilih mampu mencintai mereka. Orang yang menerima mereka apa adanya dan dengan bijak melihat kelebihan dari keterbatasan yang mereka miliki. Namun perlu diingat bahwa  segala sesuatu yang  berlebihan itu tidak baik, termasuk percaya diri. Sebab hal itu membuat orang tidak nyaman. Oleh karena itu penting untuk bersikap jujur pada diri sendiri.

 DI sisi lain, ada baiknya jika para difabel harus lebih dahulu membuat dirinya  lebih bernilai dengan menunjukkan sesuatu yang unik yang dapat menarik hati, sehingga orang-orang di luaran sana memiliki alasan untuk mencintainya. Meskipun sejatinya cinta tak memerlukan alasan, namun dalam konteks ini memberi kesan yang menyenangkan adalah suatu kewajiban, sebab dengan begitu setidaknya dapat menumbuhkan citra positif terhadap difabel. Hal tersebut bisa menjadi awal terjalinnya sebuah hubungan serius yang berkelanjutan. Selepas semua usaha dilakukan, yakinlah bahwa Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Allah berfirman:

“Sesungguhnya kami menciptakan kamu berpasang-pasangan.” (QS: An Naba: 8)

Pada akhirnya, kita harus memberikan kesempatan kepada difabel untuk mengungkapkan perasaan cinta dan kasih sayang mereka, sebab hakikat cinta sesungguhnya  bukanlah tentang mencari sosok yang paling sempurna, melainkan seberapa mampu kita menerima kekurangan dengan cara yang paling  sempurna. Setiap manusia, termasuk difabel, berhak untuk merasakan cinta dan dihormati sebagai manusia yang setara. Kita semua harus memberikan ruang bagi difabel untuk jatuh cinta dan membangun hubungan yang berbahagia dan bermakna sebagai bentuk pemenuhan hak sesama manusia yang merdeka dalam mencinta.

Penulis : Abimanyu Kurnia Ramadha

Editor : Rizky Ramadhani

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Artikel

To Top