Connect with us

Suara Difabel Mandiri (SDM)

Difabel: Antara Inspirasi dan Eksploitasi

Ilustrasi para disabilitas dengan berbagai macam golongan.

Artikel

Difabel: Antara Inspirasi dan Eksploitasi

Dibalik stigma yang masih melekat pada penyandang disabilitas, tak jarang pula difabel juga sering  dianggap sebagai  Insan  inspiratif, sebab mereka mampu menghadapi hambatan yang besar dalam hidupnya, serta mengoptimalkan kelebihan yang  dimiliki sebagai tabir dari segala keterbatasan yang ada.  Oleh karena itu tak jarang banyak figur difabel yang didorong muncul ke permukaan untuk berbagi pengalaman dengan publik dengan harapan kisah hidup mereka dapat menggugah hati banyak orang.

Sayangnya, sering kali kesan inspiratif  tersebut hanya terbatas pada aspek emosional yang berujung pada praktik eksploitasi kesedihan demi kebutuhan  Exposure  atau popularitas, tanpa memberikan pemahaman mendalam  akan  masalah yang dialami. Sebagai contoh, banyak  narasi pemberitaan atau konten terkait difabel yang menuai belas kasihan, karena mereka digambarkan  sebagai sosok yang tetap tabah meskipun tidak berdaya. Alih-alih  menggunakan kekuatannya dalam merangsang adanya kebijakan yang sehat demi peningkatan kesejahteraan.

Stigma Kesempurnaan yang Menyempitkan Makna Syukur

Masalah lainnya yang sering muncul adalah realita bahwa difabel sering dijadikan bahan komparasi yang seolah mengajarkan kaum Non-difabel untuk selalu bersyukur atas  kelengkapan  fisik dan mental mereka yang dianggap sebagai sesuatu yang “sempurna”.

Hal semacam ini lazim ditemui dalam jejak digital netizen tatkala bereaksi terhadap beragam konten terkait difabel. Sekilas fenomena ini terlihat positif, akan tetapi menurut saya seringkali rasa syukur tersebut  diungkapkan dengan cara yang kurang bijak. Pasalnya, hal tersebut ditujukan pada keberuntungan ragawi dan mental mereka semata. Misalnya; “Alhamdulilah masih beruntung diberi fisik yang sempurna.”

Meskipun seolah melihat kebawah, namun kenyataannya  malah  menjadi  respon yang salah kaprah bila dikaitkan dengan label inspiratif yang selama ini didengungkan. Jika seorang difabel  mampu menginspirasi, seharusnya kehadiran mereka  dapat memberikan kesadaran dan atau stimulus untuk menjadi lebih baik.

Komentar diatas pada umumnya berlandaskan pada standar semu tentang kesempurnaan yang masih  melekat.  Padahal kita tahu bersama bahwa di dalam dunia ini tak ada manusia yang sempurna. Setiap individu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

 Namun,  dikotomi antara “normal” dan “tidak normal” terus merasuki pemahaman masyarakat. Hal tersebut membuat  secara tidak langsung orang- orang tanpa disabilitas menunjukkan superioritasnya.  Dengan begitu  jurang pemisah jarak antara kedua belah pihak dalam masyarakat kian melebar, karena kondisi fisik dan  mental  yang utuh mereka berpikir seolah olah lebih baik.   Padahal  setiap manusia unik dalam Ciptaan-Nya. 

Kondisi tersebut tak ayal menimbulkan keraguan atas kemurnian dari segenap  rasa syukur yang ditampakkan. Apakah benar pujian atau sekedar kamuflase dari ketidakpercayaan atas kemampuan untuk berkontribusi secara  setara?  Problematika mengenai perbedaan  persepsi tersebut pada akhirnya menjadi akar dari terbatasnya akses difabel diruang publik

Kesempurnaan Semu dan Kesenjangan Kesetaraan

Fenomena ini menunjukkan bahwa  masih maraknya paradigma yang beredar dalam pola pikir masyarakat terkait difabel yang memandang bahwa difabel adalah kaum yang lebih rendah. Pandangan  seperti ini  kelak dikhawatirkan akan berpengaruh pada cara suatu masyarakat menafsirkan  prinsip kesetaraan. Pasalnya secara umum prinsip kesetaraan masih dipahami secara simbolik, sebab kendati mereka mulai diperlakukan dengan hormat,  tetapi partisipasi difabel diruang publik belum diiringi dengan distribusi  peran yang seimbang. Dengan kata lain,  difabel lebih sering dimanfaatkan sebatas memenuhi kuota dan atau sebagai representasi keberagaman.

Padahal sebenarnya hak- hak difabel dalam prinsip kesetaraan yang selama ini ditekankan  lebih dari itu. Difabel berhak untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Maka dari itu, seyogianya hal tersebut perlu difasilitasi melalui beragam kesempatan untuk berkontribusi maksimal dalam lingkungannya.

Redefinisi Kesempurnaan: Menuju Masyarakat Inklusif

Perubahan perspektif menjadi langkah awal bagi kita  dalam upaya merayakan bersama keragaman manusia sebagai fondasi akan terciptanya masyarakat inklusif di masa depan. Oleh karena itu,  sudah saatnya masyarakat mulai mendefinisikan ulang  makna kesempurnaan  secara kolektif. Tujuannya agar  tidak ada lagi pembatasan terhadap difabel dalam berbagai aspek kehidupan yang diharapkan berjalan inklusif. Sesungguhnya kesempurnaan yang sejati diukur dari kapasitas individu untuk memberikan peran serta yang bermakna bagi sesama.

Pada akhirnya marilah kita memandang arti kesempurnaan  dengan cara yang paling sempurna. Yaitu dengan memandang manusia secara utuh  tanpa perlu membandingkan dengan standar  semu yang justru semakin membelenggu.

Penulis: Abimanyu Kurnia Ramadha

Editor Rizky Ramadhani

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Artikel

To Top