Connect with us

Suara Difabel Mandiri (SDM)

Belajar Toleransi dari Anak Berkebutuhan Khusus

Artikel

Belajar Toleransi dari Anak Berkebutuhan Khusus

Oleh Achmad Fathul Iman

Mengunjungi tempat agama lain mungkin masih menjadi hal yang tabu, tak sedikit yang bilang haram bagi Muslim mengunjungi gereja, vihara, pura. Dosa. Masuk neraka. Gus Dur pernah bilang, “semakin berbeda kita, maka semakin jelas titik persamaan kita.” Mengunjungi gereja dan tempat ibadah orang lain merupakan hal biasa.

Beruntung ada StaraMuda Community, komunitas anak muda yang merayakan keberagaman dan menjaga kebhinekaan. Di komunitas ini saya sebagai kordinator. Saya bertemu orang-orang hebat dari latar belakang beragam namun memiliki tujuan sama yakni menjaga perdamaian dan NKRI. Saya mengamini perkataan Gus Dur, “Perbedaan adalah sebuah kekuatan.”

Akhir-akhir ini, Indonesia dilanda virus “kagetan,” berbeda pendapat kaget, beda tafsir kaget, beda agama kaget, beda partai kaget, dan banyak perbedaan-perbedadan yang menyebabkan masyarakat Indonesia ini kagetan. Virus “kagetan” ini bikin konfilk agama dan kelompok di Indonesia.

Bukankah Tuhan menciptakan umat manusia dengan perbedaan?

Dari berbagai Konflik di Indonesia akhir-akhir ini. Konflik mengatasnamakan agama merupakan konflik yang paling seram bagi saya. Walaupun saya kurang sependapat dengan kalimat “konflik mengatasnamakan agama”. Bagi saya mau konflik atas anama agama, pancasila, organisasi dan sebagainya. Namanya konflik itu tidak dibenarkan. Menurut saya konflik yang mengatasnamakan agama sangat sulit diselesaikan, berbeda dengan konflik ekonomi. Karena hal ini menyangkut suatu keyakinan.

Salah satu penyebabnya adalah kurangnya komunikasi dan rasa saling menghargai dan memiliki. Di komunitas StaraMuda inil, saya menyadari perbedaan-perbedaan itu harus dikomunikasikan, dimiliki dan dibudayakan.

Awal Januari 2015, teman saya seorang calon Pendeta dari Gereja Kristen Indonesia Jombang (GKI) Andreas Kristanto ingin kunjungan kasih ke Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) Muhammadiyah, Jombang. Tujuannya, menjalin persaudaraan sesama anak bangsa dan belajar tentang difabel. Saya langsung menyetujui meski belum bicara dengan kepala sekolah. Saya yakin kepala sekolah dan dewan guru akan menyetujui hal ini. Disisi lain saya juga berfikir jika ada penolakan dari organisasi Muhammadiyah atau warga Muhammadiyah.

Saya salah satu pengajar di SMALB Muhammadiyah, selang beberapa hari saya mengkomunikasikan rencana kunjungan dengan teman seperjuangan di sekolah yang juga pengurus StaraMuda Tommy Syafrudin. Ia menyambut dengan baik. Kemudian saya mengkomunikasikan dengan Kepala sekolah Bu Tri Pamudji, S.Pd tentang tujuan dari kedatangan rombongan dari GKI Jombang.

Saya masih ingat betul dengan ucapan ibu kepala sekolah yang sudah 26 tahun mengabdikan dirinya untuk siswa berkebutuhan khusus. Dia bilang, “Saya sangat senang Pak Iman, demi menjaga Indonesia, tapi bagaimana jika ada yang nolak pimpinan Muhammadiyah Jombang?”

Saya meyakinkan tak ada yang akan menolah, “insyaallah tidak ada yang nolak karena tujuannya ini baik, jika ada yang nolak saya akan maju, Bu. Setiap jenggal permasalahan di Indonesia Muhamamdiyah juga ikut bertanggungjawab. Maju mundurnya Indonesia itu tergantung bagaimana peran Muhammadiyah, dengan adanya kunjungan ini kita menunjukan bahwa kita itu rahmatalilalamin.”

Bu Tri belum bisa memutuskan, dia bilang akan dirapatkan namun saya berusaha meyakinkan, “tahun 2014 kita kunjugan ke SLB Tabanan Bali yang mayoritas Hindu, kita disambut dengan sangat baik. Sekarang giliran kita yang menyambut saudara kita dari agama Kristen.”

Bu Tri hanya mengangguk.

Saling mengunjungi saudara yang berbeda merupakan suatu hal yang perlu ditradisikan. Tradisi seperti inilah yang mesti digerakan secara berjamaah demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Walau pun di masyarakat saya menemukan fakta jika mayoritas dikunjungi minoritas itu hal yang biasa tapi jika mayoritas mengunjungi minoritas itu hal yang tidak biasa. Saya juga kurang sependapat dengan kalimat “Mayoritas harus menyangi yang minoritas, minoritas harus menghormati yang mayoritas”. Kalimat ini bagiku diskriminatif, mau mayoritas, atau minoritas kita harus saling menghormati dan menyangi secara utuh nggak usah ada sekat.

Minggu, 8 Maret 2015 merupakan hari yang istimewa, dalam sejarah SMLB Muhamamdiyah dikunjungi rombongan dari Pemuda & Remaja GKI Jombang. Tak ada raut wajah canggung, takut yang terpancar dari wajah guru dan siswa TKLB, SDLB, SMPLB, SMALB Muhammadiyah.

Mereka menyambut dengan senyuman, dan menjadikan tamu adalah raja. Kedatangan rombongan GKI Jombang ini disambut dengan rangakain bunga buatan siswa sendiri yang terbuat dari kertas. Setiap rombongan GKI Jombang mendapat satu bunga sebagai tanda persaudaraan dan persahabat. Saya terenyuh dengan apa yang siswa saya lakukan.

Hal yang menarik dari kunjungan ini yakni semangat siswa TKLB-SMALB Muhamamdiyah menyambut tamu. Pembawa acara siswa penyandang Tuna Grahita sedang (Nia dan Zidni). Dan siswa dari kelas B (Tuna rungu wicara) juga membuka acara ini dengan tari Remo Boletan (atas nama Wahyudi) yang asli dari Jombang dan Tari arak-arakan dibawakan trio cantik (Iris, Sari dan utami).

Banyak peserta rombongan dari GKI Jombang terperangah melihat penampilan siswa tuna rungu ini saat menari. Meskipun tak bisa mendengar dan berbicara, mereka mampu menunjukan kelebihanya. Siswa dari kelas Autis juga tak mau ketinggaan, siswa bernama Inung yang memiliki berat badan 90 kg dengan tinggi badan 180 an ini menyayikan lagu grup band Padi, Sang Penghibur.

Tak kalah hebatnya pemuda serta remaja GKI Jombang juga menunjukan penampilanya dengan menyanyikan dua lagu, Laskar Pelangi dan Jangan Menyerah. Mereka menyanyi bersama. Tak ketinggalan siswa TK LB, SDLB juga menunjukan tampilanya yakni tari Jaranan dan tari Rodhat (siswa tuna grahita). Setelah melihat semua penampilan seni, sekarang giliran saya, bu Rahma dan Adiba (tuna rungu) mengajar bahasa isyarat seperti : selamat pagi, selamat siang, selamat malam, terimaksih, saya cinta kamu, saya cinta Indonesia, saya cinta GKI, dan kita bersaudara.

Hal yang lucu dari sesi belajar bahasa isyarat ini, ketika saya menyuruh perwakian Pemuda GKI bernama Josava untuk maju dan mengatakan “Saya cinta kamu,” dengan bahasa isyarat kepada Adibah siswa tuna rungu dan secara spontan Adibah mengatakan “bohong”. Semua tertawa renyah.

Setelah sesi belajar bahasa isyarat, acara selanjutnya yakni makan bersama. Meskipun mereka baru beberapa jam kenalan mereka bisa bercanda, makan bersama dan pastinya foto selfie bersama. Mereka tak memikirkan apa agamamu, suku dan ras. Mereka saling memanusiakan manusia. Terenyuh.

Acara selanjutnya yakni belajar bersama. Rombongan dibagi menjadi empat yakni: keterampilan membatik, menyablon, kerajinan fanel/meronce/menyulan dan tata boga. Siswa SMALB Muhammadiyah ini tak segan menjelaskan keterampilan yang mereka miliki. Khusus untuk keterampilan tata boga, siswa tuna rungu wicara dan tuna grahita menjelaskan cara membuat kue brownies. Tepat pukul 14.00 ketua rombongan Mbak Lusi dan Pak Andreas Kristanto izin pamit, namun banyak yang tak menggubris ketua rombongan ini, mereka masih menikmati membatik, memasak dan membuat kerajinan dari kain flannel. Memang berbagi bikin happy.

Merangkai persaudaraan tak harus dengan berbagai teori dan dalil. Dari kunjungan GKI Jombang ke SMALB Muhamamdiyah, Jombang kita banyak belajar apa arti bebagi, mengahargai perbedaan dan saling menguatkan. Kita harus malu dengan anak-anak muda ini. keterbatasan tak menghalangi untuk melakukan kebaikan. Perbedaan adalah kekuatan yang harus dilestarikan. Terimaksih telah menginspirasi kami.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Artikel

To Top